Magelang, Kurang lengkap rasanya, jika menyambangi kawasan wisata Borobudur kalau tidak melenggang ke Omah Mbudur yang hanya berjarak hitungan menit saja. Menyambangi kawasan wisata paling ikonik Jogja – Solo – Semarang (Joglosemar), adalah suatu keharusan yang mesti Anda luangkan untuk berkunjung ke tempat ini (Omah Mbudur).

Disambut keramah tamahan khas Omah Mbudur diiringi dengan welcome drink serta senyum sumringah Nuryanto, Owner Omah Mbudur dengan pakaian khas Jawa dan udeng sebagai mahkotanya. Pria yang santun dan ramah ini pun menyampaikan ihwal Omah Mbudur sebagai trip atau destinasi yang berfokus pada Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Pak Nur—begitu sapaan akrabnya menjelaskan, dalam babad Borobudur, kawasan ini disebut Vanua Wana Mandra yang bermakna ‘Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu’. Menjadi tempat singgah para Jlogro atau pemahat.

“Saya ini termasuk masih pemahat, bapak juga, eyang juga. Dan, ini karya-karya saya. Sekaligus bukti bahwa di tempat ini dulunya petilasan para pemahat, ada prasastinya. Ditemukan di lubang-lubang itu,” seraya menunjuk ke belakang dan ke bawah dirinya berdiri.

Salah satu prasasti yang ada di Omah Mbudur adalah arca dua penari yang usianya sama dengan Candi Borobudur, abad ke 7 atau 8. “Saya pun sudah ijin dari balai konservasi untuk memperlihatkan benda ini ke tamu, sebagai bukti sejarah,” ungkap Pak Nur.

Kawasan ini, lanjutnya, adalah hutan bambu. Menjadi tembang tepung gelang Candi Borobudur. Bahkan sampai saat ini Desa-nya masih ada namanya Brojonalan.

Kira-kira tembangnya seperti ini; ‘Brojonolo sun tingali, anak mbarep ing Mbekangan, ojo owah ing arane,’. Ngaran gunung Pademangan, itu pusat pemerintahan yang sekarang jadi Borobudur.

‘Gendingan wis keno. Jadi hidup harus selaras. Bokowanti kaliabon. Abon itu sari-sari yang digongso sampai jadi abon, Rojo kelon ing njligutan…’ Ini Namanya tepung gelang yang selalu dikisahkan dengan budaya tutur.

Jadi leluhur itu menuturkan tentang kisah-kisah Borobudur melalui tiga budaya yakni, Sandang, apa yang kita pakai, pakai batik ceplok ada yang batik kawung, itu gak bisa diplintir. Dipilih sandang supaya tidak diplintir dan pesan itu sampai.

Yang kedua Pangan, dan Papan. Papan ini seperti candi, rumah, joglo, limasan, artefak ada stupa, gambar relief, terpahat gajah katakana gajah.

“Terakhir yakni Nada, seperti gending, saat bunyi gong, katakana gong. Karena kata-kata bisa diplintir. Ini yang membuat leluhur kami memakai budaya tutur bentuk,” urainya.

Sekarang ini tiga konsep tersebut sudah berubah, contoh, dalam kepemimpinannya budaya tutur, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani.

Selain tiga filosofi budaya tersebut, leluhur pun mengajarkan bagaimana melayani dan menerima tamu dalam tiga filosofi yakni; Gupuh, tergopoh-gopoh menyambut tamu dan memberi sesuatu, selanjutnya Suguh, apa yang dimiliki disuguhkan dan terakhir Lungguh, ada narasi ketika duduk dan ngobrol.

“Jadi, dalam menyambut tamu itu tidak boleh dibiarkan, buka pintu sendiri, duduk sendiri dan ambil minum sendiri,” pungkas Pak Nur. (Hendi/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *