Lukisan dengan judul “Begawan Ciptaning Tapa Brata” merupakan lakon Raden Arjuna yang tengah melakukan tapa-brata agar yang dia inginkan dapat dikabulkan oleh Sang Pencipta. Tapa-brata yang dilakukan melalui banyak hambatan (godaan) dari para Dewa dan Bidadari supaya keinginannya batal. Namun karena Begawan Ciptaning kuat dan tabah, akhirnya permintaannya dikabulkan dan banyak wahyu-wahyu yang turun ke Begawan Ciptaning.
Lukisan kulit ini mengisahkan Raden Arjuna melakukan Tapa Brata di Goa Mintaraga di Tlatah Gunung Indrakila, anak dari pasangan Dewi Kanti dan Pandu. Lukisan ini dibuat oleh Sumarno, selaku Perupa di Jakarta pada Tahun 1979, dari perupa hanya 2 buah, yang satu dibeli orang asing dan satunya dimiliki pemuda Jambi (Lilik Ruli Prasetio), lukisan berkesan unik dan estetik.
Di dalam pertapaannya, Raden Arjuna mendapatkan rintangan dan cobaan yang tidak mudah. Cobaan pertama berupa bidadari berjumlah tujuh yang diutus oleh Sang Hyang Bathara Indra untuk menggoda Begawan Ciptaning. Namun karena keteguhan jiwa sang Arjuna, godaan dari para bidadari diabaikannya.
Rintangan kedua adalah Sang Hiyang Bathara Indra yang menyamar sebagai resi tua bertubuh renta. Di depan Begawan Ciptaning, resi itu bicara, “Apa artinya tapa-brata, jika hanya untuk memburu keindahan dunia? Sekadar untuk memenuhi hasrat pribadi dan keluarga saja!”
Raden Arjuna menjawab dengan nada tegas kepada resi tua “Jangan asal bicara, sang resi! Tapa-brataku tidak untuk memburu keindahan dunia semata, hanya ingin mengkukuhkan darmaku sebagai seorang ksatria sejati. Bukan untuk pribadi bukan pula keluarga sendiri, melainkan untuk jalan kebenaran di tengah kehidupan bersama.”
Begawan Ciptaning mendapatkan godaan yang ketiga. Godaan itu berwujud celeng besar, bersuara menggelegar membuat jiwa ciut. Dia merupakan jelmaan Dibya Mamang Murka sengaja diutus untuk menggoda atau menguji jiwa Raden Arjuna melakukan tapa-brata oleh Prabu Niwatakawaca (Raja Manimantaka). Lagi-lagi karena kesaktian dan ketabahan batinnya sehingga Begawan Ciptaning mampu mengatasi godaan demi gedaan yang datang.
Godaan atau rintangan terakhir bagi Begawan Ciptaning berupa dua ksatria. Mereka merupakan jelmaan Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru) dan Sang Hyang Kanekaputra (Bathara Narada) untuk mengujinya langsung dalam pertapaannya. Kesaktian tinggi yang dimiliki kedua ksatria itu dapat ditaklukkan oleh Begawan Ciptaning. Godaan jiwanya bergeming sedikit pun dan akhirnya rintangan dan cobaan telah diselesaikan oleh Raden Arjuna.
Karena ketekatan dan kuatnya jiwa Raden Arjuna, akhirnya kedua ksatria telah berubah kembali menjadi Sang Hyang Manikmaya dan Sang Hyang Kanekaputra. Begawan Ciptaning mendapatkan anugerah berupa senjata panah Pasopati, yang bisa membinasakan keangkara-murkaan Prabu Niwatakawaca.
Begitu tinggi kesaktian senjata panah Pasopati ia tidak sekedar senjata. Ia memiliki makna (Paso) atau phasu memiliki makna (hewan), sedangkan (Pati) memiliki makna mati, juga dapat diartikan yang dianugerahkan senjata Pasopati bermakna nafsu hewani yang telah binasa di dalam jiwa manusia.
Dengan demikian Begawan Ciptaning telah menaklukan lima sifat hewani di dalam jiwanya antara lain:
- Pertama, memiliki sifat rendah seperti anjing yang berjalan dengan kepala menunduk dan selalu menciumi mangsanya sebelum dimangsanya.
- Kedua, memiliki sifat ragu-ragu (bimbang) dalam mengambil keputusan soal kebenaran sejati.
- Ketiga, memiliki sifat takut pada segala sesuatu yang baru.
- Keempat, memiliki sifat yang selalu mengutamakan kebutuhan pribadi dan keluarga ketimbang mendarmakan diri kepada kebenaran sebagai seorang satria.
- Kelima, memiliki sifat kaku (tidak mudah menerima) atas perubahan zaman. (Hendi)