JENDELAPUSPITA – Aku menikah dengan seorang lelaki yang sangat baik, sehat, dan gagah. Lelaki gagah itu menerima apa adanya diriku, baik kelebihan maupun kekurangan diriku karena terlahir dari keluarga yang miskin.
Kami menikah tanpa memiliki apa-apa, hanya berbekal cinta dan tekad untuk mengarungi kehidupanini bersama janji setia selamanya. Cinta dan kasih sayang membuat hidup sederhana ini menjadi indah dan penuh warna.
Aku merasa, dunia ini sangat indah karena kebahagiaan selalu menjadi milikku. Aku merasa bahwa Allah begitu sayang padaku karena menghadirkan sosok lelaki yang begitu baik dan penyabar. Hingga aku lupa bahwa hidup tak selamanya indah.
Suamiku yang sehat, mengalami sakit di kedua matanya. Dokter mengatakan bahwa suamiku menderita gloukoma yang akan mengakibatkan kebutaan permanen. Saat itu aku tak ingin mempercayainya dan berharap vonis dokter itu salah.
Diriku menangis dalam diam dan merasa Allah tak adil. Kenapa cobaan ini harus menimpa padaku. Namun aku sadar, bahwa aku harus kuat di hadapan suami agar dia juga merasa kuat menghadapi ujian ini. Dialah yang seharusnya terpuruk, sebab Allah mengambil kedua matanya yang semula dapat memandang dunia yang indah ini, telah hilang dan menjadi gelap.
Beribu tanya hadir dalam hatiku. Bagaimana aku menghadapi hidup ini. Bagaimana besok, bagaimana nanti, apa yang akan terjadi. Bisakah aku menghadapi ujian ini. Semua ketakutan muncul dalam benakku. Apakah aku bisa menghidupi keluarga ini sendirian. Bagaimana aku dapat menjadi tulang punggung keluarga ini. Aku hanya seorang pegawai dengan gaji sangat kecil. Untuk makan sehari-hari saja rasanya takkan cukup.
Namun aku sadar, nikmat Allah lebih banyak aku nikmati dari pada ujian yang aku terima. Aku harus kuat dan sabar dalam menghadapi ujian ini. Aku yakin bahwa Allah tidak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuan seseorang, Aku bertekat dan tak ingin menyerah. Akan kujalani ketentuan Allah ini dengan iklas, walau hanya aku yang menjadi tulang punggung keluarga.
Seiring berjalannya waktu, semua ketakutan yang ada dalam benakku ternyata tak terbukti. Walau hanya aku yang menjadi tulang punggung keluarga, namun Allah memberi rejeki dari segala arah yang tak terduga. Penghasilanku yang kecil dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.
Suamiku adalah seorang penyandang tunanetra, dan aku bangga padanya. Bangga dengan ketabahannya menerima ketidaksempurnaannya. Kini aku sadar, bila kita mensyukuri nikmat yang Allah berikan, maka Allah akan menambah kenikmatan itu.
Ujian bukan sesuatu yang harus di ratapi, namun ujian adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan iklas dan sabar. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.
Sri Dewi Kusumawati, seorang yang berdomisili di Kupang, Nusa Tenggara Timur dan memiliki nama pena Sri Kusuma yang mencintai aksara seperti mencintai hidupnya.