JENDELAPUSPITA – Setelah menapakkan kaki pada tangga terakhir dari 300 meter pendakian via ferrata Gunung Parang, Kang Oleh sudah menunggu sambil berjongkok di atas tanah. Dia melihat ke telepon genggamnya dan menyatakan waktu perjalanan mendakiku tepat 3 jam. “Alhamdulillah, ya, Bu. Gancang oge.”
Sambil menunggu teman-teman lainnya yang belum turun pendakian, aku bertanya kepada Kang Oleh. “Jadi, sebenarnya siapa yang memasang tangga-tangga besi ini, Kang?”
“Saya bersama Pak Jeje, Bu.”
Pak Jeje adalah ayahanda dari Kang Oleh. Mereka berdua terinspirasi dari pembangunan Sky Lodge, hotel yang menggantung di Gunung Batu Parang tersebut. Untuk menuju ke sana di perlukan anak tangga besi yang menempel sangat lekat. Mereka merealisasikan pembangunan tangga-tangga tersebut dengan membeli besi ulir batangan.
Aku bertanya tentang berapa banyak batangan besi ulir yang di perlukan untuk 300 meter dan 900 meter. Kang Oleh menjawab, “Pokoknya banyak sekali, Bu. Karena, untuk satu tangga memerlukan bahan satu meter.”
“Batas kedalaman besi yang di tancapkan adalah 20 sentimeter atau lebih. Lalu, pakai duit siapa, tuh, Kang Oleh?”
“Awalnya pakai duit pribadi, Bu. Hasil mengumpulkan uang masuk pengunjung ke area Gunung Parang ini.”
Aku tidak mengklarifikasi apakah yang di sampaikan Kang Oleh benar atau tidaknya, sebab waktu kami berbincang sangat terbatas apalagi sedang hujan deras di Badega. Sehingga kami harus segera makan siang, salat, dan bersiap kembali ke kota kami. Namun, hikmahnya adalah menemukan orang yang ingin melakukan pembuatan tangga-tangga besi untuk jalur via Ferrata ini mencapai 150 meter, 300 meter, dan 900 meter ketinggian Gunung Parang dari atas tanah.
Badega Gunung Parang berlokasi di Kampung Cirangkong, Desa Pesanggrahan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Gunung ini menjadi yang pertama di Indonesia menyediakan jalur (via) Ferrata, sebutan untuk tangga besi yang di tancapkan ke dalam batu gunung sebagai sarana mendaki.
Pendakian tetap di lakukan dengan bantuan alat pengaman standar (climbing safety) seperti sling besi, tali paracord, carabiner oval screw lock steel, harness, dan lain-lain. Keamanan menapaki setiap anak tangga dengan menggunakan peralatan secara benar, tepat, dan tetap terus di kenakan hingga perjalanan selesai dari awal hingga akhir, adalah hal yang utama.
Beberapa kasus fatal pernah terjadi, berupa jatuhnya pendaki di atas gunung batu masif tersebut. Akibatnya adalah kematian. Mengapa hal itu terjadi? Karena, peserta merasa aman-aman saja mendaki tanpa mengaitkan carabiner ke sling.
Apalagi mereka melihat Kang Oleh memandu peserta sama sekali tidak menggunakan peralatan keamanan tersebut. Bukan contoh baik untuk ditiru peserta. Peserta tidak mengenal gunung ini, berbeda dengan Kang Oleh yang mengenal gunung ini sebagai kesehariaannya.
Istilah Via Ferrata sendiri berasal dari bahasa Italia yang artinya jalan besi. Konon sebenarnya setiap orang dapat memanjat gunung apabila tidak memiliki fobia ketinggian. Dedi Mulyadi pada 17 Desember 2013 menjadi pemangku pemerintahan sebagai Bupati Purwakarta dengan bangganya meresmikan lokasi ini.
“Badega” memiliki arti “penjaga”. Artinya, gunung ini perlu juga di jaga, dan sebaliknya gunung ini menjaga keindahan wilayah.
Kita akan merasakan sebuah sensasi ketinggian yang membuat bahagia. Rasa khawatir akan ketinggian pada saat awal berjalan menuju lokasi seolah menghilang saat di ketinggian 150 meter. Apalagi kami sempat menemukan cerukan tanah mirip gua, yang dapat di gunakan untuk beristirahat sejenak.
Pemandangan Waduk Jatiluhur terlihat dari sini, hamparan pegunungan, sawah-sawah menghijau, hutan-hutan pepohonan, rumah-rumah penduduk beratap genteng terakotanya, serta langit bergelombang mirip kain beledu sedang di hamparkan dengan indahnya.
Ide memberi kesempatan setiap orang dapat memanjat atau mendaki gunung adalah jenius. Karena, manusia pada hakikatnya memerlukan semacam ekstase mengatasi kebosanan dalam menggunakan kakinya melangkah.
Sensasi mencapai sebuah gunung pernah ada di dalam benak sekelompok orang. Semacam inspirasi atas ketinggian, entah itu memang sesuatu yang “tinggi” terukur secara faktual. Atau, posisi seperti kedudukan, jabatan, atau keterkenalan. Berhasil mencapai ketinggian adalah imajinasi “flamboyan” dan mungkin saja menjadi tujuan.
Hidup kita sepenuhnya di pengaruhi oleh gravitasi. Kang Oleh telah mengungkapkan keniscayaan itu dengan berbagi pengertian tanpa teori bahwa gravitasi dapat kita nikmati melalui kecepatan, ketinggian, kekuatan, dan kesempatan melangkah lebih tinggi. Menanjak sebuah gunung melalui tangga-tangga besi menjadi sebuah kombinasi aktivitas merasakan gravitas di telapak kaki kita.
Rasa takut akan ketinggian yang tak terelakkan oleh massa bumi, serta membuat sebuah perspektif baru tentang menghirup pemandangan alami dari titik tertentu, yakni ketinggian! Kita mencapainya dengan kekhawatiran, rasa takut, dan berpeluh.
Sambil menapaki perjalanan melangkah di setiap anak tangga besi, kuturutkan kata hatiku untuk terus naik. Lalu memandang ke kejauhan dari tempat berangin ini, ke arah kabut yang melayang rendah di bawah kakiku. Aku merasakan sebuah sensasi kesenangan kanak-kanak, seperti saat mencuri buah mangga tetangga.
Saat tertangkap pemiliknya, aku terperangah dan tertawa lepas menertawakan kesalahan diri sendiri. Uap panas meriap hingga ke kepala dan ada kesenangan kecil yang membuat adrenaline meningkat, di iringi sebuah rasa syukur melihat alam mengecil di bawah kaki kita.
Bagaimanapun juga, pembangunan yang di kerjakan oleh Kang Oleh dan ayahandanya, merupakan usaha sungguh-sungguh yang telah memberikan kesempatan kepada orang lain. Masyarakat lebih banyak lagi menikmati Plered, Purwakarta, Jatiluhur, dan sekitarnya dengan cara unik dan menyenangkan.
Bahkan dengan cara kekinian, kemampuan metaverse melalui media sosial. Angin semilir Badega, telah membisikkan sesuatu, yaitu keberanian, tantangan, energi, semangat mengisi konten, gaya muda milenial, kenangan manis dan pengalaman menyenangkan.
Inspirasi mencapai ketinggian gunung via Ferrata telah memunculkan gaya hidup modern yang aman, menyenangkan, menciptakan hobi baru, memberikan kemungkinan pendakian gunung dari usia 5 hingga 70 tahun dengan aman, ceria dan selamat.
Mendaki di gunung Parang, semacam terapi mengatasi kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan seseorang terhadap ketinggian dengan cara sederhana dan alamiah.
Hal ini sudah di buktikan melalui cerita jujur yang di sampaikan beberapa teman-temanku tentang efek positif dari pendakian di gunung Parang. Alhamdulillah, setelah berhasil mengatasi rasa takut ternyata mereka merasa menjadi lebih rendah hati karena menyadari mereka hanya bagian kecil di kehidupan ini.
Mariza sudah menulis dalam buku I am The Champion, Ayahku Pahlawanku, A Letter to Father, Ibuku Surgaku, Memori Musim 2020, Ayahku Jagoanku, 40 Wajah Korona, 55 Cerita Islami Terbaik untuk Anak, Aku Bangga Jadi Anak Muslim, Kisah-kisah Hidupku.