Sekolah merupakan rumah kedua bagi kita. Tentu hal ini berlaku bukan hanya untuk peserta didik saja, tetapi juga berlaku bagi kita sebagai pendidik. Tahun berganti tahun. Tanpa terasa semua sudah kita lalui dengan suka dan duka. Teman yang meninggal, pensiun, pindah bekerja, dan yang lainnya, semua silih berganti mewarnai hari-hari kita.
Tanpa kita sadar, setengah dari kehidupan kita ada di ruang lingkup sekolah, tempat kita bekerja dan mengabdikan diri. Semakin lama kita bekerja, tentu kita pun sudah mengenal karakter rekan kerja kita satu sama lainnya.
Rekan kerja kita pun variatif dan memiliki berbagai tipe. Ada yang rajin, pintar, ambisius, royal, suka menolong, ramah, aktif berkarya, dan sifat positif lainnya. Sifat positif mereka tentu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan sekolah dan suasana pergaulan sesama warga sekolah.
Namun ternyata di sisi lain, tidak sedikit juga warga sekolah yang arogan, penjilat, ABS, sok pintar, licik, menusuk dari belakang, munafik, dll. Semua lengkap. Ya, sekolah memang miniatur dari dunia yang sebenarnya yang dapat kita kaji lebih dalam.
Seiring berjalannya waktu, circle pertemanan pun mulai terlihat. Mana yang memang sungguh-sungguh menjadi teman kita, mana yang mendekat hanya ketika ada butuhnya saja, mana yang terang-terangan tidak cocok dengan kita, dan mana yang lempeng-lempeng saja. Semua bergerak dinamis dan menjadikan sekolah seperti sebuah kawah candradimuka.
Disadari atau tidak, sekolah adalah sebuah wadah penggemblengan mental, baik untuk kepala sekolah sebagai top manajemen, maupun untuk guru-guru. Sebagai guru, kita juga menjadi warga sekolah yang memiliki peranan penting dalam mewarnai alur kepemimpinan dan roda pendidikan di sekolah.
Kita ketahui, bahwa alur kepemimpinannya setiap sekolah tidaklah sama.
Ada sekolah yang sudah mampu membuat roda pendidikannya berputar bergiliran, sehingga setiap guru mencicipi pengkaderan (rule-nya sudah berjalan dengan baik). Namun, ada pula yang masih memegang cara lama, di mana kesenioritasan masih sangat kental. Tentu alur kepemimpinan ini akan sangat berpengaruh untuk jalannya roda pendidikan di sekolah.
Untuk sekolah yang sudah mampu menghilangkan cara kesenioran, secara tidak langsung, menjadikan sekolah tersebut menanamkan rasa keadilan bagi warganya. Semua warganya dilibatkan dan memiliki peranan yang penting untuk membangun sekolah ke arah yang lebih baik.
Sedangkan, bagi sekolah yang masih menganut gaya kesenioran yang terus bercokol dalam memegang kendali, tanpa sadar itu akan menciptakan budaya kerja yang tidak pada tempatnya. Budaya kerja yang tidak pada tempatnya ini seringkali terlihat baik-baik saja pada tahap awal, tetapi akan berakhir dengan polemik yang sama dan kian menggunung.
Contoh budaya kerja yang salah dan kita bisa lihat, adanya jabatan yang bertumpuk pada satu orang misalnya, karena orang tersebut merupakan orang kepercayaan. Padahal, di sekolah tersebut masih banyak orang lain yang bisa diandalkan untuk memegang posisi-posisi itu. Bahkan, ada pula lho, warga sekolah yang menduduki posisi terus-menerus sampai pensiun!
Kondisi seperti ini, untuk jangka pendek memang tidak akan terasa berdampak, bahkan warga sekolah yang diberi kepercayaan lebih dari 3 jabatan pun, awalnya akan biasa-biasa saja dan merasa tidak ada yang aneh dengan penunjukan tersebut. Bisa jadi beliau merasa mampu, atau terpaksa memegang jabatan karena tidak ada yang mampu.
Di lain pihak, mereka yang tidak mendapatkan jabatan dan peranan tersebut akan semakin merasa tidak dibutuhkan di sekolah tersebut. “Ah, aku mah kan bukan apa-apa, bukan orang penting di sini,” kalimat inilah yang sering terdengar dari mulut mereka yang merasa tidak dihargai dan merasa tidak dibutuhkan.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi pada sekolah-sekolah yang masih menerapkan sistem senioritas dan bertumpuknya jabatan pada segelintir orang.
Warga sekolah akan menjadi apriori dan menjadi nerimo, pasrah dengan keadaan yang seperti itu. Ada pula yang berani berbicara walau tidak secara terang-terangan. Ada juga yang memilih hanya menjadi pengamat saja.
Kondisi tersebut seharusnya dapat terendus oleh para kepala sekolah sebagai pemimpin dan bijak dalam mengambil keputusan. Memang hal yang sulit ketika kepala sekolah harus mengubah tatanan dan karakter yang sudah lama bercokol. Namun, ketika kepala sekolah mampu untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik, maka ini akan menjadi sesuatu yang sangat mahal dan akan dikenang oleh anak buahnya sebagai sesuatu yang luar biasa.
Di satu sisi, umumnya kepala sekolah ingin bisa bekerja dengan nyaman dan tidak ada bentrokan dengan siapapun. Di sisi lain, jika kepala sekolah berani keluar dari zona nyaman yang ada, maka kepala sekolah akan menghadapi “pasukan” yang kapan saja bisa menyingkirkannya dari sekolah tersebut. Inilah fenomena dan suasana kerja di lingkungan sekolah.
Ini real dan benar-benar terjadi. Nah, sekarang mari kembali pada diri kita. Semakin lama kita bekerja, semakin kita mengenal lingkungan dan kepribadian tempat kita bekerja. Tentu kita akan memperlihatkan juga, seberapa peduli kita kepada sekolah.
Silakan coba resapi dengan baik! Bagaimana alur kepemimpinan dan roda pendidikan di sekolah kita? Sejauh apa peranan kita dalam berkontribusi untuk perkembangan sekolah? Lalu, apakah kita termasuk pemangku jabatan yang serakah? Atau termasuk warga sekolah yang cenderung nerimo dengan kondisi sekarang?
Apakah kita termasuk warga sekolah yang hanya bisa berbicara di belakang? Atau kita pun ternyata sudah tidak mau tahu lagi dan hanya mengikuti alur saja? Atau kita termasuk warga sekolah yang memang benar-benar mencintai sekolah dan mau berjuang untuk kemajuan sekolah?
Bagaimanapun tipe kita, disadari tidak, keputusan yang kita ambil sangat berpengaruh bagi perkembangan sekolah terutama dampak pada siswa dan juga kemajuan bangsa Indonesia.
Sebab, kita bekerja bukan hanya sekadar mencari uang semata. Namun, kita telah memilih profesi yang memang mulia dan sangat vital dalam mencerdaskan anak bangsa.
Oleh : Erni Wardhani