JENDELAPUSPITA – Tawa bahagia menghiasi wajah Nyai Badriah. Ia adalah seorang wanita setengah baya yang sedang asyik dengan kedua cucunya. Tubuhnya yang mulai renta masih kuat menggendong sang cucu dan terlihat sehat. Setiap hari setelah menyelesaikan pekerjaannya di warung, Nyai Badriah menemani kedua cucunya yang di titipkan oleh anaknya yang bekerja.
Walau lelah, kebahagiaan tak pernah lepas dari wajahnya. Tak ada yang tahu, jika dulu Nyai Badriah adalah perempuan frustrasi dan hampir bunuh diri karena pengkhianatan suaminya. Hidupnya penuh dengan kepahitan, di tambah lagi harus menanggung enam anaknya yang masih kecil-kecil.
Laki-laki yang di cintainya tergoda oleh perempuan muda yang tidak begitu jauh berbeda dengan wajah Nyai Badriah. Tak ada istimewanya selain giginya yang tonggos, yang menjadi ciri khasnya. Namun entah mengapa, suami Nyai Badriah begitu terpesona kepada wanita tersebut.
Sampai suatu hari, suaminya sudah tidak peduli lagi, dia membawa wanita simpanannya ke rumah sanak saudaranya yang letaknya satu kampung dengan Nyai Badriah.
Hal ini menambah sakit hati Nyai Badriah. Tetangganya banyak yang mengunjing, ada yang merasa iba terhadap Nyai Badriah, akan tetapi ada juga yang merasa senang karena Nyai Badriah di khianati.
Nyai Badriah merasa sangat terpukul karena berita itu sudah bukan gosip lagi. Keluarga suaminya pun ternyata mendukung perselingkuhan suaminya itu. Kekecewaan dan amarah menghinggapi seluruh relung hatinya, hingga tak sadar di ambilnya sebotol obat nyamuk cair dan di teguknya.
Ia tersungkur di lantai, mulutnya berbusa. Untung saat itu, Yuli anak pertamanya masuk ke kamar Nyai Badriah. Dia merasa kaget dan takut. Dipanggilnya tetangga-tetangga terdekatnya. Nyai Badriah segera di beri air kelapa dan di bawa ke puskesmas terdekat. Beruntung, nyawanya bisa di selamatkan. Anak-anaknya yang masih kecil, mengelilingi tempat tidurnya sambil menangis.
Setelah di tinggal suaminya, Nyai Badriah mempertahankan hidupnya dengan membuat es lilin yang di titipkan ke warung-warung setiap pagi oleh Yuli. Ia adalah gadis manis yang pandai di sekolahnya. Banyak prestasi yang di raihnya.
Namun sayang, semua itu tak pernah mendapat pujian dari orang tuanya. Mungkin karena Yuli sudah terbiasa menjadi juara sejak SD. Jadi, sampai SMA pun, tak ada keistimewaan lagi bagi orang tuanya. Atau, mungkin karena Ibunya terlalu sibuk mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga keistimewaan itu terabaikan.
Namun dalam hati kecil Nyai Badriah, ingin rasanya dia memberikan suatu hadiah yang indah untuk Yuli. Tapi, jangankan sebuah hadiah, membeli makan saja terkadang harus meminjam beras ke tetangga. Itu pun kadang sambil di hardik. Nyai Badriah selalu memasang wajah badak, dia berusaha menahan malu yang terpenting anak-anaknya bisa makan.
Suatu hari Yuli yang telah menginjak SMA, ingin sekali mengikuti kursus. Namun, hanya derai air mata yang mengalir dari kedua mata Nyai Badriah. Hatinya seperti di cabik-cabik, angannya meronta, mengutuk nasib dirinya yang terus di rundung kemalangan.
Tiba-tiba ia teringat dengan sebuah cincin yang di sembunyikannya, kenang-kenangan dari orang tuanya. Kemudian ia mengambilnya dengan wajah sumringah dan menemui Yuli yang sedang bersedih. Yuli tidak mau menyalahkan Ibunya. Karena saat ini, satu-satunya orang yang pantas di salahkan adalah Bapaknya, yang sedang mabuk cinta pada wanita muda yang di kenalnya.
“Yuli… Yuli.., Yuli,“ panggil Nyai Badriah. “Di mana kamu, Nak?”
Yuli tersentak kaget, “Iya, Bu,” jawabnya.
“Yul, insyaallah kamu besok bisa daftar kursus. Ini ada cincin yang bisa kamu jual dan hasilnya buat bayaran,” ucap Nyai Badriah.
Dengan nada yang gontai, Yuli berjalan antara sedih dan bahagia. Sedihnya karena sang Ibu sampai menjual cincin kenang-kenangan milik orang tuanya. Dan, bahagianya karena dia bisa kursus. Dalam hati Yuli berjanji, jika dia akan kursus dengan serius dan tidak akan mengecewakan Ibunya.
Waktu pendaftaran pun tiba. Yuli bersama teman-temannya daftar kursus komputer. Nyai Badriah tersenyum bahagia karena dapat memenuhi keinginan anaknya. Duka yang selama ini di rasakan tak ada artinya di bandingkan kesedihan anak-anaknya. Dia yakin jika Sang Kuasa akan memberikan kebahagiaan jika kelak suatu hari nanti bisa lulus melewati ujian ini.
Hari demi hari, Nyai Badriah jalani dengan penuh semangat. Sekarang, dia berjualan comro dan urab-uraban, makanan khas sunda yang banyak di sukai. Sedikit demi sedikit, dirinya bangkit dari kesedihan. Dia sudah tidak peduli dengan mantan suami yang telah menyakitinya. Baginya saat ini, kebahagiaan anak-anak yang utama.
Kini, Yuli telah tamat SMA. Dengan bekal kemampuan komputernya, dia melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan. Tidak susah ternyata. Mungkin karena Yuli pandai, punya keahlian, dan pandai berteman, membuat perusahaan tertarik dan menerimanya bekerja.
Waktu terus berlalu. Keadaan hidup Nyai Badriah bersama anak-anaknya mulai membaik. Adik-adik Yuli pun sudah ada yang masuk SMA. Walau kecil harapan untuk melanjutkan kuliah, akan tetapi mereka sudah merasa senang bisa sekolah hingga SMA.
Lara hati Nyai Badriah terobati. Dia tak ingin meratapi nasibnya. Nyai hanya berdoa agar di berikan kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan bersama anak-anaknya. Yuli yang menjadi tulang punggung keluarga, meminta Nyai Badriah agar jualan kecil-kecilan berupa sembako di rumah saja. Ide Yuli pun di laksanakan oleh Nyai Badriah. Kesibukan telah membuat Nyai Badriah melupakan dukanya.
Tak terasa, cerita kelam itu telah berlalu selama 20 tahun. Kenangan pahit itu telah terkubur dalam. Kini Nyai Badriah, yang dulu pernah mau bunuh diri, hidup bahagia. Anak-anaknya sudah bekerja semua dan berkeluarga. Nyai pun telah di karuniai cucu sebanyak tujuh orang.
Sementara suaminya, kini sering berkunjung ke rumahnya dengan alasan menengok anak-anaknya. Padahal di sisi lain, suaminya sering meminta bantuan keuangan kepada anak-anaknya. Karena, harta peninggalan orang tuanya telah habis di jualnya dan usahanya pun sudah mulai sepi.
Mungkin ini seperti kata pepatah, bahwa dunia itu seperti roda yang berputar kadang berada di bawah dan kadang berada di atas. Nyai Badriah tidak pernah protes jika anak-anaknya memberi Ayah mereka uang. Karena dia berpikir, walau bagaimana pun dia tetap Ayah yang harus di hormati dan di kasihi.
Lilis Ernawati, lahir di Kuningan 3 Desember 1976. Saat ini sedang menggeluti hobi menulis dan bergabung di grup menulis KPPJB Jabar, PGRI AISEI dan AGBSI. Buku sudah lebih dari 10 buku antologi di hasilkan dan 2 buku solo dalam proses serta aktif live streaming menjadi moderator di kelas inovasi dan public speaking.