Pandemi bermula dari Cina pada akhir 2019, sedangkan di Indonesia secara resmi mengonfirmasi adanya warga yang tertular pada Maret 2020. Sejak saat itu semua insan membatasi aktivitas untuk menekan penyebarannya, salah satunya aktivitas belajar mengajar di sekolah.

Sehingga dalam kondisi yang serba cepat dan mendadak, pembelajaran tatap muka ditiadakan dan, aktivitas belajar di sekolah harus melaksanakannya di rumah masing-masing. Lalu, mengadopsi pembelajaran online sebagai metode belajar.

Kondisi belajar saat pandemi dengan menggunakan metode daring tentu berjalan tanpa persiapan. Mulai dari kurikulum, sarana prasarana, kemampuan siswa dalam penggunaan gawai, hingga para guru yang sebagian masih belum melek teknologi.

Sehingga semua harus memaksa demi keberlangsungan proses belajar mengajar. Meledaknya pembelajaran yang dilakukan secara daring saaat pandemi menimbulkan pertanyaan. Apakah pembelajaran daring ada dan bermula ketika pandemi atau memang sudah ada sejak lama? Lalu apakah ketika pandemi sudah berakhir masih bisa terus menggunakan pembelajaran online?

Berangkat dari sejarah dan perkembangan e-learning yang berawal pada 1960, era CBT 1990, LMS 1997, dan aplikasi e-learning berbasis web pada 1999.

Paul Martin Lester dan Cyntia Marie King dari Universitas California melakukan penelitian mengenai penggunaan teknologi untuk pembelajaran. Penelitian itu berjudul “Analog Vs. Digital Instruction And Learning: Teaching Within First and Second Life Environments” pada 2009.

Mereka membandingkan pembelajaran pada kursus komunikasi visual antara pembelajaran tradisional dan daring. Pada pembelajaran tatap muka tradisional diikuti oleh 161 orang dan 173 orang mengikuti melalui pembelajaran online.

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa siswa menikmati pengalaman belajar di kelas virtual karena merasa lebih fleksibel dan kreatif. Mereka juga tidak khawatir kekurangan ruang untuk kuliah apabila mengadakan kelas besar.

Ini merupakan bukti otentik bahwa pembelajaran online sudah ada jauh sebelum pandemi. Bahkan, kelas-kelas formal di sekolah tidak hanya melakukan penggunaan teknologi untuk pembelajaran, tetapi juga pada kursus atau pelatihan.

Hasil dari studi kasus ini mencerminkan bahwa dengan menggunakan beberapa aplikasi e-learning dan menyematkannya dalam sistem manajemen kursus. Karyawan dapat memiliki akses belajar sesuai kebutuhan yang dapat mempersiapkan mereka untuk menjadi staf perpustakaan 24/7.

Selain itu, program pelatihan online berhasil mengurangi biaya yang lumayan besar juga dapat membantu untuk menyimpan database kinerja karyawan, menguji pengetahuan berbasis kompetensi secara efektif, dan menyediakan ruang terpadu bagi karyawan dan pengawas untuk menguraikan dan mengukur kinerja. Meskipun pelatihan online sangat bermanfaat, masih ada kebutuhan untuk interaksi tatap muka. Maka perlu mengeksplorasi strategi kelas campuran untuk mengatasi hal ini.

Melihat perkembangan e-learning dari masa ke masa dan terus berkembang seiring perkembangan teknologi, juga penelitian yang relevan dengan isu pembelajaran online. Maka kita bisa menyimpulkan bahwa pembelajaran online sudah ada dan berkembang jauh sebelum pandemi. Hal ini akan menjadi sistem pembelajaran masa depan yang mengutamakan efektivitas dan fleksibilitas baik untuk formal dan non-formal.

Sehingga pembelajaran online masih sangat relevan meskipun pandemi berakhir, bahkan perlu ada upaya yang terus menerus untuk menyiapkan Indonesia agar dapat mengadakan pembelajaran online yang merata di semua tingkat dan satuan pendidikan.

Untuk mentransformasi pendidikan dapat melakukan upaya sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kompetensi pendidik di semua jenjang;
  2. Mendesain sistem pembelajaran yang mempertimbangkan tujuan pendidikan yang mengacu pada prinsip-prinsip pemanfaatan teknologi;
  3. Memeratakan infrastruktur digital dan;
  4. Memenuhi sarana/alat pendukung untuk keberlangsungan pembelajaran online.

Adapun anggapan bahwa pembelajaran online tidak maksimal karena kurang terarah dan minim engagement, maka perlu menjembatani hal tersebut. Caranya dengan mengeksplorasi strategi kelas campuran salah satunya dengan menerapkan pembelajaran secara sinkronus dan asinkronus dan agar pembelajaran dari tidak hanya sebagai konsep dan perangkat teknis.

Lebih dari itu, seharusnya sebagai cara berpikir dan paradigma yang mendorong peserta belajar menjadi kreatif, mempunyai karya, dapat mengakses informasi sebanyak mungkin, dan akhirnya membentuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. (Hendi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *