JENDELAPUSPITA, Yogyakarta – Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) edisi 7. Diskusi kali ini mengangkat topik tentang “Pemaknaan Atas Ekspresi Pejabat di Media Sosial”.

Diskusi diselenggarakan secara virtual, Selasa (27/6), dan menghadirkan dua pembicara dari kalangan akademisi yaitu Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn., Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya) dan Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si, (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada). Acara tersebut dipandu oleh Nurjannatin Aliya Albani Tanjung (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM).

Berdasarkan jajak pendapat terbatas di kalangan mahasiswa yang dilakukan oleh tim peneliti Diskoma, sebanyak 83,6% dari 55 responden menjumpai banyak pejabat publik yang melakukan flexing di media sosial. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pejabat yang memamerkan harta, mengenakan barang dan berpenampilan mewah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa pejabat publik yang sering flexing patut diduga melakukan tindak pidana korupsi. Perilaku ini pun dinilai tidak etis.

Menurut Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn., Ph.D selaku Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, flexing ini mengindikasikan mental “minder” (rendah diri). Kondisi mental ini merupakan warisan penjajah. Dengan mengaitkan fenomena ini dengan teori post-kolonialisme, Desi berpendapat bahwa kolonialisme di Indonesia menciptakan mental inlander.

Menurutnya, “penjajah Belanda sengaja menciptakan stratifikasi ras dan mendikotomi satu identitas dengan identitas yang lain untuk tujuan politik”. Pada masa itu, pejabat publik seperti Soekarno lebih memilih mengenakan setelan baju jas bergaya militer begitu pun dengan Sutan Sjahrir dengan kaos polonya. Gaya berpakaian ini bukan berarti bergaya kebarat-baratan atau pun flexing, namun sebagai bentuk self-empowerment.

“Berbeda dengan sekarang, pejabat publik yang sering melakukan flexing di media sosial, kebanyakan bertujuan untuk menunjukkan eksistensinya dan mendapatkan validasi sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk membangun representasi tertentu. Sayangnya, representasi ini tidak terkait dengan kinerjanya dalam melayani publik melainkan pamer kekayaan”, tambah Desi.

Sementara itu, Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si, menjelaskan bahwa flexing ini bukan saja dilakukan oleh sejumlah pejabat publik, namun juga dilakukan oleh kalangan selebriti dan tokoh-tokoh publik. Pejabat melakukan flexing sebagai bentuk komunikasi politik untuk menunjukkan identitas diri dan mendapatkan pengakuan tertentu di masyarakat.

Menyikapi fenomena flexing para pejabat publik ini, kedua pembicara sepakat agar para pejabat lebih menunjukkan hasil kerjanya di media sosial daripada flexing. (Hendi/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *