Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia. Populer dengan sebutan herba atau herbal. Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuh-tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing, empedu ular, atau tangkur buaya. Seringkali kuning telur ayam kampung juga dipergunakan untuk tambahan campuran pada jamu gendong.
Jamu biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya lebih dapat ditoleransi peminumnya. Bahkan ada pula jamu yang ditambah dengan anggur. Selain sebagai pengurang rasa pahit, anggur juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh.
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah merupakan sentra penjualan jamu tradisional yang cukup dikenal di Indonesia.
Upaya pemuda peramu jamu, disebut Barisja, mematahkan kesan ‘pahit’ jamu, bagi anak muda dan menjadikan jamu menjadi minuman kesehatan kekinian.
Mereka juga gigih mengajak pemuda mencintai minuman tradisional supaya badan dunia PBB mengakui jamu sebagai warisan budaya Indonesia takbenda.
Jamu? Emoh. Pahit dan bau. Selain itu, oldies!
“Ada lho jamu yang tidak pahit dan baunya sedap,” seperti Jamu Rosela. Paling banyak itu memang dikonsumsi anak muda kalau Rosela Sereh,” ujar Andri Gunawan.
Andri tidak menampik fakta bahwa lebih banyak pemuda yang tidak suka akan jamu, ia justru berpendapat, anak-anak muda bukan tidak suka jamu. “Mereka hanya belum kenal,” katanya.
Karena, “Orang tua tidak memperkenalkan jamu, itu apa. Sebenarnya, kalau orang tuanya sudah mengenal jamu, biasanya sih mereka juga akan memperkenalkan jamu kepada anak-anaknya. Biasanya regenerasinya begitu, yang saya tahu,” tambahnya.
“Yang penting anak-anak muda mau mencoba dulu jamu.”
Tudingan bahwa jamu identik ‘oldies’ atau ceww banbet, juga ditepis Andri. Ia mengingatkan bahwa jamu adalah bagian dari tradisi bangsa dan sudah ada sejak kita lahir. Tetapi, bukan berarti jamu hanya untuk orang tua atau wanita saja. Justru jamu buat siapa aja dan semua kalangan.
“Kami memperkenalkan jamu tidak hanya dari segi rasa tapi juga dari filosofi, dari cerita, sehingga kita mengajak anak-anak generasi muda, bukan hanya ikutan tren, mau minum jamu, tetapi karena mereka believe, jamu itu our Indonesian heritage, khasiat jamu dari natural ingredients Indonesia, terus mereka jadi bangga dan cinta pada budaya jamu.”
Layaknya di bar, barisja (barista jamu) mengocok campuran beragam rempah. Ramuan lalu dibubuhi krim, misalnya. Konsumen menjadi lebih tertarik karena melihat langsung proses pencampuran itu.
Andri memaparkan apa yang dilakukan di Stasiun Jamu untuk menarik lebih banyak konsumen muda. Selain kemasan yang transparan, mereka memberi label, dan menyuguhkan jejamuan berwarna terang.
Toh, itu tidak cukup meyakinkan pemuda untuk minum jamu. Mereka merasa jamu tidak keren dan kalah gengsi dari minuman lain yang lebih terkesan modern dan kebarat-baratan.
Itu salah kami, pemuda pegiat jamu, kata Andri. “Kita yang muda-muda, tidak mengemas produk lokal itu menjadi keren. Makanya kita harus membuat produk yang enak dan kekinian untuk kalangan anak muda atau gen Z”. Untuk mengetahui jauh akan kami bisa kunjungi instagram @stasiunjamu, ujar Rudi selaku owner. (Hendi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *