Jakarta, Sampai saat ini, hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama seluruh masyarakat di Indonesia. Jumlah penyandang hipertensi di Indonesia tidak berkurang dalam satu dekade terakhir. Oleh karena itu, upaya pencegahan hipertensi yang optimal dan tatalaksana hipertensi sangat diperlukan untuk menurunkan risiko kesakitan, komplikasi, bahkan risiko kematian dini, antara lain dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian terapi obat rutin ketika sudah diperlukan.
Perhimpunan Hipertensi Indonesia atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) secara rutin tiap tahunnya melakukan edukasi tentang hipertensi dan tatalaksananya kepada para dokter, masyarakat serta media massa bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
dr. Amanda Tiksnadi, SpS(K), PhD, Ketua Panitia The 17th Annual Scientific meeting InaSH 2023 dalam sambutannya mengatakan, “Acara ilmiah tahunan InaSH kali ini begitu spesial karena untuk pertama kalinya dapat diselenggarakan secara offline kembali. Selain itu, tahun ini juga merupakan acara ilmiah yang ke-17 sejak InaSH didirikan. Fase sweet seventeen atau usia 17 tahun merupakan momen spesial, usia transisi dari remaja menuju dewasa. Besar harapan angka 17 menjadi momen perkembangan InaSH menuju tingkat kedewasaan dalam pengembangan dan kemajuan tatalaksana hipertensi secara paripurna di Indonesia pada khususnya.”
“Scientific Meeting kali ini mencoba melebarkan sayap dengan mengajak klinisi dan perawat di Indonesia bergerak mengatasi hipertensi mulai dari hulu secara optimal, yaitu mulai bertindak di fase prevensi atau pencegahan tanpa melupakan optimalisasi tatalaksana hipertensi. Adapun acara akan terbagi menjadi masterclass of hypertension, plenary session, interactive keynote lecuture, international hypertension societies joint-session, poster sessions, panel discussion, trigger quiz contest, dan dilanjutkan dengan young investigator session sebagai bentuk tanda hormat terhadap inovasi dan pencapaian terbaru dalam ruang lingkup hipertensi. Selain itu, yang tak kalah penting dan pasti ditunggu adalah peluncuran ‘Buku Panduan Promotif dan Preventif Hipertensi’ pada akhir acara,” jelasnya.
dr. Erwinanto, Sp.JP(K),FIHA, Ketua InaSH, pada kesempatan yang sama mengatakan, ”Jumlah penyandang hipertensi di Indonesia tidak berkurang dalam satu dekade terakhir. Survei nasional di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah 34,1%, tidak berbeda dengan hasil survey nasional tahun 2007 yang besarnya 31,7%. Tidak berubahnya jumlah penyandang hipertensi dari tahun ke tahun bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain termasuk negara maju seperti Amerika. Tingginya jumlah penyandang hipertensi menjadi beban berupa tingginya angka kesakitan dan kematian penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal kronik. Hipertensi bertanggung jawab terhadap sebagian beban biaya yang tinggi untuk penyakit jantung-pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal di Indonesia.”
Ia juga mengemukakan, “Mengukur tekanan darah dapat dilakukan di rumah atau di pelayanan kesehatan. Ulangi pemeriksaan tekanan darah setidaknya setiap tahun jika tekanan darah terukur 130 139/85-89 mmHg (tekanan darah normal tinggi) dan lebih sering jika terukur 140/90 mmHg atau lebih (hipertensi). Jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg berisiko menjadi hipertensi di masa datang.
Sebuah penelitian menunjukkan risiko menjadi hipertensi 2 tahun ke depan adalah 40% jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg. Jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, berisiko mengalami penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal yang jauh lebih besar dibandingkan mereka dengan tekanan darah lebih rendah. Dengan mengetahui tingkat tekanan darah, diharapkan seseorang menjadi lebih sadar untuk melakukan usaha menurunkannya jika diperlukan.
“Seseorang dianjurkan menurunkan tekanan darah jika terukur 130/85 mmHg atau lebih. Jika tekanan darah seseorang 130-139/85-89 mmHg, cukup melakukan intervensi gaya hidup seperti berolah raga teratur, menurunkan berat badan, mengurangi asupan garam. Seseorang mungkin perlu terapi obat jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih. Dokter akan memutuskan apakah perlu terapi obat atau tidak,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, “Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia beranggotakan dokter yang mempunyai keseminatan dalam bidang hipertensi dan berada di bawah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Banyak kegiatan yang telah dilakukan seperti usaha meningkatkan kesadaran hipertensi di masyarakat bersama Kemenkes RI, menerbitkan beberapa pedoman hipertensi bagi dokter, melakukan pertemuan untuk meningkatkan pengetahuan dokter di bidang hipertensi. Di masa depan Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia akan berusaha lebih erat bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama Kemenkes RI, untuk menurunkan prevalensi dan beban hipertensi di Indonesia.”
dr. Djoko Wibisono, Sp.PD-KGH, Sekretaris Jenderal InaSH dalam pemaparannya mengatakan, “Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain. Hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama seluruh masyarakat di Indonesia,berawal dari kondisi yang sering kali diabaikan sebagian besar orang yang merasa tidak memiliki keluhan, namun sesungguhnya menjadi sumber komplikasi kesehatan yang lebih fatal untuk organ vital seperti otak, jantung, maupun ginjal. Hipertensi masih menjadi faktor risiko utama penyebab dari stroke perdarahan, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, bahkan kematian dini. Berangkat dari kondisi tersebut, hipertensi sering disebut sebagai ‘Si Pembunuh Senyap’ atau ‘The Silent Killer’.“
“Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 terjadi kenaikan angka kejadian kasus hipertensi di Indonesia menjadi 34,11% dari 25,8% pada tahun 2013. Hipertensi terjadi ketika tekanan darah seseorang terdeteksi > 140/90 mmHg pada 2 kali pemeriksaan yang berbeda saat pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan dengan menggunakan alat ukur tekanan darah yang sudah tervalidasi,” lanjutnya.
Ia mengatakan, “Hipertensi sendiri terbagi dalam dua kelompok penyebab, yaitu hipertensi primer (esensial) sebanyak 90-95% kasus merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan hipertensi sekunder (5-10%), yaitu tekanan darah tinggi disebabkan oleh penyebab yang mendasarinya antara lain berhubungan dengan tanda-tanda gangguan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar gondok (tiroid), dan penyakit kelenjar adrenal (sebuah kelenjar di atas ginjal yang bertugas menghasilkan hormon), serta konsumsi obat-obatan tertentu. Tekanan darah tinggi pada hipertensi primer dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti, usia lanjut, obesitas, adanya riwayat hipertensi pada keluarga, konsumsi makanan asin atau tinggi garam (natrium), konsumsi makanan kemasan atau makanan cepat saji, kurangnya konsumsi buah dan sayur, pola hidup sedenter yaitu terlalu banyak duduk dan kurang berolah raga, konsumsi alkohol, serta kebiasaan merokok. Sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi, terutama pada kelompok hipertensi primer tidak memiliki gejala yang spesifik. Gejala klinis baru dirasakan bila kondisi hipertensi telah memberat atau yang telah berkomplikasi. Gejala yang dapat muncul antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran.”
“Namun demikian, hipertensi dapat dicegah jika dapat dikelola dengan baik yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Hipertensi yang terkelola dengan baik dapat mencegah dan menurunkan risiko kesakitan, komplikasi, bahkan risiko kematian dini. Upaya ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian terapi obat rutin ketika sudah diperlukan. Konsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang. Pola makan dengan meningkatkan konsumsi buah,sayur, dan konsumsi rendah lemak; membatasi konsumsi natrium, yaitu dianjurkan maksimal 1 sendok teh garam atau setara 5 gram garam dapur dalam sehari; menghindari konsumsi alkohol; tetap mempertahankan berat badan ideal; berhenti merokok, membiasakan untuk beraktivitas fisik teratur, yaitu dengan berolahraga yang bersifat aerobik minimal 30 menit per hari dengan frekuensi 5x dalam seminggu,” tambahnya.
“Pada kasus hipertensi yang sudah mendapatkan obat anti hipertensi rutin dari dokter, diharapkan untuk selalu mengkonsumsi obat secara teratur dan berkala sekaligus memeriksakan kondisi kesehatannya ke fasilitas kesehatan. Sebagian besar pengobatan hipertensi diberikan dalam jangka panjang bahkan mungkin sampai seumur hidup, karena terapi hipertensi ini bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah sesuai target agar dapat memperpanjang harapan hidup serta mengurangi risiko komplikasi,” jelasnya.
“Untuk mengelola penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular (PTM) lainnya, ujarnya, “Kemenkes
membuat kebijakan yaitu; mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif (skrining), meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui kegiatan Posbindu PTM, meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi Puskesmas untuk
pengendalian PTM melalui peningkatan sumberdaya tenaga kesehatan yang profesional dan kompenten dalam upaya pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas; peningkatan manajemen pelayanan pengendalian PTM secara komprehensif (terutama
promotif dan preventif) dan holistik; serta peningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana promotifpreventif, maupun sarana prasarana diagnostik dan pengobatan.”
“Upaya Pencegahan dan Penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat. Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktivitas dan tidak merokok. Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini. Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan kualitas hidup penderita. Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut dini dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung,” jelasnya.
“Penanganan respon cepat juga menjadi hal yang utama agar kecacatan dan kematian dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali dengan baik. Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang lama ketahanan hidup. Untuk mendeteksi atau menegakkan diagnosis penyakit hipertensi, sangat sederhana yaitu dengan mengukur tekanan darah menggunakan tensimeter. Hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Pengobatan atau penatalaksanaan hipertensi membutuhkan waktu lama, seumur hidup dan harus terus menerus. Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan, maka harus diberikan obat. Sarana dan prasarana untuk diagnosis dan mengobati hipertensi, termasuk mendeteksi kemungkinan terjadi kerusakan organ target atau komplikasi pada dasarnya sudah tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Melalui Puskesmas dan Posbindu PTM, masyarakat cukup mendapat kemudahan akses untuk mendeteksi atau monitoring tekanan darah nya. Jika mampu membeli tensimeter sendiri untuk memonitor tekanan darah keluarga secara rutin akan lebih baik. Namun yang paling penting adalah meningkatkan perilaku hidup sehat. Akhir kata, cegah dan kendalikan hipertensi untuk hidup sehat lebih lama,” ia menekankan.
Tentang pentingnya promotif dan preventif hipertensi, Dr. dr. Antonia Anna Lukito, SpJP (K), PIC Buku Pedoman InaSH mengatakan, “Pengendalian hipertensi telah menjadi salah satu program prioritas yang menjadi indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) dan termasuk dalam indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2022-2024. Hipertensi dapat dicegah melalui upaya edukasi dan deteksi dini yang dilakukan di komunitas. Hal ini diharapkan dapat
mencegah terjadinya hipertensi, mengendalikan hipertensi dan mencegah terjadinya kerusakan organ target akibat komplikasi hipertensi. Upaya promotif hipertensi dapat dilakukan di sekolah, tempat kerja, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan rumah sakit.”
Ia menjelaskan,“Promotif hipertensi merupakan proses peningkatan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya agar tidak terjadi hipertensi, sehingga tercapai derajat
kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, maka masyarakat harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya. Promotif
Kesehatan Hipertensi dapat dilakukan dengan kegitan penyuluhan (KIE = komunikasi / informasi / edukasi). Pencegahan Hipertensi dapat dilakukan dengan program CERDIK yang telah dicanangkan oleh P2PTM KemenKes, yang meliputi: Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, rajin aktifitas fisik, diet seimbang, Istirahat cukup serta kelola stress. Pengendalian hipertensi dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan, mulai dari masyarakat, fasilitas kesehatan tingkat pertama, tingkat lanjutan dan kembali ke masyarakat dengan kepatuhan minum obat serta perawatan di rumah/masyarakat yang disebut Continuum of Care.”
“Pada beberapa daerah pelosok, akses menuju layanan kesehatan merupakan tantangan, apalagi pada kelompok rentan (lansia). Tidak optimalnya penanganan hipertensi diakibatkan juga oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan prioritas perawatan kesehatan terfokus kepada pasien anak dan penyakit dengan gejala yang sudah mengganggu. Hipertensi seringkali tanpa gejala, sehingga kurang memotivasi seseorang untuk mencari pengobatan, dan percaya bahwa tidak ada masalah dengan tekanan darah yang tinggi,” ia menekankan.
Keberhasilan penanganan hipertensi, membutuhkan langkah aksi bersama. Peranan komunitas dan Lembaga swadaya masyarakat sangat penting, bersama pemerintah dan organisasi lainnya terutama dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk pola hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah. Dengan berbagai tantangan tersebut di atas, seyogyanya diperlukan kolaborasi antara pemerintah dengan organisasi profesi terkait hipertensi (PERKI dan PERDOSSI) serta organisasi keseminatan hipertensi (PERHI dan PERNEFRI) yang fokus pada peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan hipertensi. “Keberadaan organisasi semacam ini dapat menyampaikan program promotif dan preventif hipertensi kepada masyarakat, untuk mencapai layanan kesehatan pada masyarakat yang optimal diIndonesia, ” tutupnya.