JENDELAPUSPITA – Untuk poin terakhir, guru kadang lalai. Tidak sedikit guru yang memberikan nilai tidak objektif sehingga murid merasa diperlakukan tidak adil.
Hal ini banyak faktor yang memengaruhi. Pertama, guru enggan memeriksa jawaban soal sehingga ia hanya mengatrol dari nilai sebelumnya karena jawaban soal yang diperiksa ending-nya pasti rendah. Pengatrolan nilai ini merupakan buntut dari tuntutan KKM.
Kedua, guru jarang menilai keseharian murid dalam proses pembelajaran maupun berperilaku, seperti aktif dalam diskusi kelompok, sering bertanya, atau selalu berusaha menjawab setiap pertanyaan guru.
Ketiga, guru sering menerima “sesuatu” dari murid entah itu dalam bentuk makanan maupun barang sehingga menjadi beban moral bagi guru jika tidak memberikan nilai memuaskan kepada murid tersebut walau kemampuan kognitifnya pas-pasan.
Keempat, guru tidak ketat dalam pengawasan ujian sehingga guru tidak bisa membedakan mana murid yang benar-benar menjawab soal secara mandiri, mana siswa yang menjawab soal dengan menyontek.
Kelima, memberikan peringkat. Saya tidak mengeneralisasi kelima faktor tersebut. Masih banyak guru yang melakukan tugasnya dengan bersungguh-sungguh karena panggilan hati.
Pernah suatu ketika, saya datang ke sekolah anak saya dalam rangka menerima rapor semester sekaligus mendengarkan arahan gurunya terkait perkembangan belajar murid dalam kelas.
Anak saya duduk di kelas 8. Anak saya tidak mendapatkan peringkat, hal ini bukan masalah bagi saya karena saya tahu kemampuan anak saya biasa saja.
Selesai penerimaan rapor, saya melihat ada salah satu murid menangis memeluk ibunya dan sang ibu berusaha menenangkan. Dalam hati kubertanya-tanya, “Ada apakah gerangan yang terjadi dengan murid tersebut?”
Sesampainya di rumah, dengan nada penasaran saya bertanya pada anakku tentang kejadian tadi. Menurut keterangan anakku bahwa murid yang menangis tersebut sebelumnya mendapat peringkat satu sewaktu di kelas 7 dan sekarang tidak mendapatkan peringkat sama sekali.
Padahal, ia adalah siswa yang pintar dan banyak teman-teman yang bertanya padanya saat ulangan harian maupun dalam mengerjakan tugas-tugas.
Setelah mendengar penjelasan anakku, tak lupa saya memberikan motivasi dan penguatan serta menitipkan pesan agar anakku menghibur temannya tersebut dan sampaikan bahwa peringkat bukanlah indikator menjadi orang cerdas.
Suryana M. Makawaru, lahir 6 April 1978 di Palu, Sulawesi Tengah. Saat ini bekerja sebagai Kepala Sekolah Dasar di Kota Palu. Jejaknya bisa di temukan di akun facebook “Suryana M. Makawaru” dan Instagram “@makawarusuryana.