Jakarta, Hingga saat ini, implementasi program BPJS masih perlu untuk terus dikembangkan dan ditingkatkan dari berbagai sisi. Beberapa yang perlu diperhatikan, misalnya terkait aturan teknis pelayanan kesehatan, pelayanan obat, hingga teknis dalam pelaksanaan terapi tertentu, salah satunya yaitu dialisis pada pasien gagal ginjal kronik.
Seperti yang diketahui, pasien gagal ginjal kronik harus melakukan dialisis seumur hidup secara rutin. Maka, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup pasien dialisis ini, perlu adanya kolaborasi yang baik, khususnya terkait standar pelayanan pada fasilitas kesehatan.
dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN, Dokter kepresidenan RSPAD dan Penasehat Yayasan Jaga GinjaI Indonesia (JGI) menyatakan, “Kolaborasi dari berbagai stakeholders, seperti Pemerintah (Kemenko PMK dan Kementerian Kesehatan), BPJS Kesehatan, rumah sakit, asosiasi medis, komunitas pasien, hingga masyarakat, menjadi kunci peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, salah satunya dalam pelayanan terhadap pasien gagal ginjal dalam menjalani dialisis. Penetapan aturan yang lebih ideal perlu dilakukan, salah satunya seperti dikeluarkannya aturan terbaru mengenai tarif pelayanan Kesehatan JKN oleh Kementerian Kesehatan (dalam PMK no.3/2023).”
Salah satu yang disoroti dalam penyediaan bantuan layanan kesehatan adalah penyakit gagal ginjal. Gagal ginjal masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia, di mana tingkat kejadian gagal ginjal yang kronik meningkat dari 0,2% pada 2013 menjadi 0,38% pada 20181. Angka kejadian sebesar 0,38% dibanding jumlah penduduk Indonesia uang sebanyak 252.124.458 jiwa pada 2018, maka terdapat 713.783 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis di Indonesia dan sangat memerlukan terapi, salah satunya dialisis. Oleh sebab itu, penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang diutamakan penyelesaiannya oleh Kemenkes RI.
Gagal ginjal sendiri termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, yang berarti penyakit ini memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menguras biaya yang tinggi. Program bantuan layanan kesehatan untuk pasiennya sangat dibutuhkan sehingga bisa menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit ini. “Agar semuanya berjalan dengan lancar, kembali lagi, setiap aturan yang ditetapkan perlu dijalankan dengan baik agar proses pengajuan program JKN untuk dialisis bisa berjalan secara ideal,” tutur dr. Jonny.
Pada pelaksanaannya, terkadang ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan demi pelaksanaan program JKN yang lebih baik. “Misalnya, aturan terkait menunggu 7 hari sebelum memeriksakan diri ke dokter yang sama, rawat inap hanya 3 hari, perbedaan jenis obat yang diberikan oleh rumah sakit, hal-hal seperti ini mungkin akan membingungkan pasien. Pada akhirnya pengobatannya pun kurang optimal,” tambahnya.
Hal-hal tersebut, tambahnya, mendorong Yayasan JGI untuk memberikan usulan khususnya dalam pelayanan dialisis. “Beberapa usulan misalnya seperti menghapuskan rujukan berjenjang bagi pasien yang bersifat tetap, seperti yang tengah menjalani terapi Hemodialisis (HD) maupun Continuous Ambulatory Peritonial Dialysis (CAPD). Bagi jenis obat yang digunakan, agar lebih transparan terhadap pasien, ada baiknya segel dializer single use dibuka di hadapan pasien dan dikonfirmasikan bahwa sesuai dengan yang seharusnya. Untuk dosis obatnya pun harus selalu sesuai dengan yang diresepkan, di mana pun rumah sakitnya, dan lain sebaginya,” jelas dr. Jonny.
“Untuk itu, ada baiknya disediakan wadah pengaduan apabila ada pelanggaran dalam pelaksanaan program bantuan layanan kesehatan ini, apalagi bagi pasien dialisis. Karena sejauh ini, salah satu tantangannya adalah transparansi dari berbagai pihak. Inilah yang membuat pentingnya forum diskusi hari ini. Sehingga ke depannya, kita bisa berkolaborasi untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih sehat,” tutupnya.