Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan penanggulangan untuk penyakit Tuberkulosis (TBC) di Indonesia harus menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks untuk bisa mencapai target eliminasi Tuberkulosis 2030.
“Tuberkulosis masih menjadi ancaman kesehatan dunia. Pascapandemi (COVID-19), terjadi peningkatan kasus Tuberkulosis di Indonesia, sehingga pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus TB tertinggi di dunia setelah India,” kata Sekretaris Pokja Infeksi PDPI Irawaty Djaharuddin dalam konferensi pers “Yes We Can End Tuberkulosis” yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat lalu.
Ira menyampaikan salah satu tantangan yang menjadi kendala di lapangan adalah rendahnya angka penemuan kasus. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah dan pihak terkait harus lebih meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait gejala TBC melalui edukasi dan menguatkan pelacakan kasus.
Tantangan lain yang dihadapi adalah angka keberhasilan pengobatan yang belum mencapai target. Hal ini dapat berhasil jika pengobatan pasien Tuberkulosis ditunjang oleh pengobatan yang tepat dari tenaga kesehatan, ketersediaan obat sesuai standar, kepatuhan pasien, tata laksana efek samping obat yang memadai, dan pemanfaatan Video Observed Therapy (VOT) atau sistem pendukung penting lain sebagai alternatif pilihan untuk menunjang keberhasilan pengobatan.
“Bersama Kemenkes segera merekomendasikan regimen pengobatan Tuberkulosis dengan lama pengobatan yang lebih pendek yaitu empat bulan untuk Tuberkulosis sensitif obat (TB-SO), regimen BpaL atau untuk TBC resisten obat (TB-RO),” katanya.
Selain itu meningkatnya kasus TB-RO yang menurut Global Tuberculosis Report 2022, penderita TB-RO naik hingga 10 persen dari tahun 2019 dibandingkan tahun 2018.
Penyebabnya adalah waktu pengobatan yang lama, angka keberhasilan pengobatan yang rendah dan mortalitas yang tinggi. Cara yang efektif untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan menemukan dan mengobati penderita sampai sembuh serta pencegahan penularan penyakitnya.
Tantangan selanjutnya adalah angka morbiditas dan mortalitas TBC dengan penyulit seperti komorbid. Oleh karenanya Ira menilai edukasi menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui Tuberkulosis yang berat, Tuberkulosis yang terlambat diobati, serta Tuberkulosis dengan komplikasi yang menyebabkan kematian.
Rendahnya angka cakupan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada laten tuberkulosis juga masih menjadi masalah. Sayangnya, pertanggung jaminan kesehatan pada Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) masih belum jelas, alur diagnosis dan tata laksana belum diketahui secara luas, ketersediaan obat belum mencukupi.
Hal itu disebabkan karena sulitnya pendekatan memulai pengobatan karena subjek merasa dirinya sehat, serta belum tersedia alat diagnostik seperti Mantoux/IGRA dan foto thoraks di semua lini kesehatan.
Pihaknya telah melakukan pemerataan sebaran tenaga kesehatan spesialistik dalam tata laksana kasus sulit, serta pengadaan lokakarya untuk meningkatkan kompetensi dokter dalam melaksanakan tata laksana Tuberkulosis dengan komplikasi.
PDPI juga akan terus bersinergi dengan Kemenkes dalam pembuatan penanganan Tuberkulosis nasional. Di lain sisi juga akan terus berpartisipasi aktif menjadi narasumber dalam meningkatkan edukasi terkait Tuberkulosis dan melakukan penelitian guna memberikan masukan dan saran mengenai pemecahan masalah lainnya.
“Walaupun terdapat banyak tantangan, namun PDPI tetap berkomitmen memberikan pelayanan terbaik untuk penanggulangan Tuberkulosis,” katanya.(Hendi/red)