Prinsip Yang Tak Bisa Dibeli Siska Artati

JENDELAPUSPITA – Magrib baru saja berlalu. Usai melakukan salat, seperti biasa Kak Anti dan Kak Wina bergegas ke kamar, sibuk dengan buku-buku untuk belajar malam ini. Bapak masih piket di kantornya. Hari ini, beliau mendapat jadwal masuk malam. Biasanya esok pagi baru pulang.

Aku sendiri masih asyik bermain dengan boneka kertas yang kubuat sore tadi. Berada di ruang tengah, pandanganku tertuju ke kamar Ibu. Tampak ia sedang merias wajahnya melalui cermin. Tak biasanya wanita cantik itu berhias diri di jam-jam seperti ini. “Mau kemana, ya?”

Tak mau sekadar bergumam, segera aku beranjak dan mendekatinya.

“Ibu berdandan. Tumben.” Kupeluk dan bergelanjut manja di bahunya. Kupandang wajahnya di cermin. Tatap dan senyum kami bertemu di sana.

“Ibu mau ke rumah Bu Tandiyo. Mau ikut?”

“Hah, ke rumahnya Tami? Ada acara apa, Bu?” Tak biasanya Ibu bertandang ke rumah atasan Bapak.

“Mau ikut nggak, nih?” Ibu menawarkan dengan senang hati.

“Iya, deh, ikut aja. Sebentar Amel ganti baju dulu,” sahutku dan langsung bergegas menyiapkan diri. Tak butuh waktu lama, aku sudah berganti dengan baju yang lebih pantas dari baju tidur yang sebelumnya kukenakan.


Kami berpamitan dengan Kak Anti. Ibu berpesan agar pintu rumah di kunci. Dengan berjalan kaki sampailah kami di depan rumah Bu Tandiyo. Jaraknya memang cukup dekat karena tempat tinggal kami satu komplek perumahan.

Memasuki halaman yang luas dan asri, tampak jendela masih terbuka. Cahaya lampu ruang tamu menyeruak di antara pepohonan dan menerangi teras rumah. Pada sisi kanan dan kiri pintu utama, terdapat hiasan ukiran Bali, menambah aksen manis bagi kediaman si pemiliknya.

Ibu menekan bel. Terdengar sayup-sayup bunyinya di ruang tengah. Tak berselang lama, langkah kaki bersandal mendekat. Sejurus tangan menyibak korden pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. “Siapa?” suara Tami rupanya.

“Assalamualaikum. Aku sama Ibu, Tam,” jawabku melongokkan diri melalui jendela.

“Oh, kamu, Mel.” Tami langsung membuka pintu, memberikan senyuman dan salim kepada Ibu.

“Tami, permisi, Ibu ada, Nak? Sampaikan pada ibu, Bu Mul mau ketemu.” Terdengar suara ibu agak parau. Sekilas kulihat wajahnya sedikit gugup.

“Ada apa, sih, kok, Ibu mau ketemu malam begini?”

“Ada, Bu. Silakan masuk, duduk dulu, ya. Sebentar saya sampaikan ke Ibu.” Tami menggamit tanganku mengajak masuk ke dalam. Aku sudah biasa bermain dengannya.

Gadis kecil ini memiliki banyak koleksi buku bacaan. Itu sebabnya aku dan kawan-kawan sepermainan di lingkungan perumahan ini betah berada di perpustakaan kecil miliknya. Di sanalah ia mengajakku usai memberitahukan maksud kedatangan kami kepada ibunya.

“Mau minum apa, Mel?” tanya Tami bergegas keluar dan menahan dirinya di depan pintu kamar.

“Apa saja boleh.” Senyum terima kasih kusematkan di wajah.

“Baiklah, kusamakan dengan Ibumu, ya.” Tami membiarkanku di kamarnya.

Beberapa saat kemudian, Tami sudah kembali dengan membawa sepiring kue lapis legit dan martabak mini, juga segelas teh hangat.

“Wah, enak nih, Tam.” Aku tersenyum lebar.

Tami tertawa kecil, “Tidak biasanya ibumu bertemu ibuku, Mel. Ada apa?”

Ternyata Tami memiliki pertanyaan yang sama. Aku juga heran, sebab sepanjang sepengetahuanku, ibu tidaklah terlalu akrab dengan Ibu Tandiyo. Mereka berdua jarang bercengkrama saat kegiatan para Ibu. Paling hanya saling bersapa sekadarnya saja.

Aku hanya menggerakkan kedua bahu dan tengadahkan telapak tangan di samping, “Hehehe. Bener, kita tak perlu tahu urusan orang tua. Oh iya, ada yang mau kamu pinjam lagi?” Tami mengalihkan pembicaraan dan mengarahkan matanya pada tumpukan buku-buku di lemari bacaannya.

Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada Membela Teman, Misteri di Tally-Ho, Si Badung Jadi Pengawas untuk kubawa pulang. Akan kukembalikan sepekan kemudian, demikian janjiku pada Tami. Sepuluh menit berlalu sembari kami berdua menikmati teh hangat dan kudapan hingga tak bersisa.

“Mel, kita ke teras saja, yuk, lumayan dingin angin malam.” Aku tak menolak ajakannya.

Bergegas kami membereskan buku yang masih berantakan dan merapikan kembali di lemari. Tami mengambil gelas dan piring, langsung di bawanya ke ruang belakang. Aku menunggunya di depan pintu kamar.

Tepat saat menyeruak hendak menuju ke teras depan, kami berdua terkejut. Terlihat Ibu bersimpuh di lutut Bu Tandiyo sambil menangis menahan sesegukannya.

Sedangkan, Bu Tandiyo bersedekap dengan ekspresi datar, tak menghiraukan tangisan wanita di depannya. Bahkan bibirnya sedikit melengos, pandangan matanya di lemparkan sambil lalu ke arah lain. Sempat beliau kaget melihat kami, lalu menyenggol lengan Ibuku.

Cepat-cepat kami berdua menuju teras, dan langsung duduk di tangga lantai. “Aku ke dalam dulu, ya, Mel.” Tami berbisik kepadaku dan langsung berbalik.

Mungkin dia merasakan hal sama denganku. Rasa kurang nyaman melihat pemandangan tadi. Kudengar samar suara Ibu, “Saya mohon, ya, Bu. Ini untuk pertama dan terakhir kalinya.”

Beberapa menit kemudian, kami berdua pamit pulang. Wajah Ibu Tandiyo kurang bersahabat, datar tanpa ekspresi, tampak pongah di mataku saat ia menutup pintu.

Ingatan itu terus membekas meski sudah sepuluh tahun berlalu. Bapak sudah meninggal. Kami tak lagi tinggal di rumah dinas, melainkan rumah mungil milik sendiri yang asri dan nyaman. Sedangkan, Tami dan keluarganya sudah pindah ke kota lain, mengikuti ayahnya yang berpindah tugas. Kak Anti dan Kak Wina melanjutkan sekolah di ibu kota provinsi dan tinggal di asrama.

Siang itu, aku tak sengaja menemukan foto-foto lama yang sedang di rapikan Ibu. Sesekali wanita paruh baya itu tersenyum saat memandang beberapa lembar di antaranya. Mungkin terkenang akan sesuatu. Kami berdua sedang mengumpulkan dan memasangnya ke album yang baru.

Saat itulah aku juga menemukan foto masa kecilku bersama teman-teman. Tampak kami sedang bersama di sebuah acara ulang tahun, ada Tami juga di sana.

“Bu, boleh Amel bertanya sesuatu?”

“Tanya apa, Nak?” Tangan beliau masih memilah dan memilih, mana yang akan di jadikan satu pasangan di halaman album.

“Dulu waktu masih tinggal di rumah dinas, kita pernah pergi ke rumah Bu Tandiyo. Amel ikut juga ke sana di ajak sama Ibu. Masih ingat, ‘kan? Padahal setahu Amel, Ibu, ‘kan. nggak akrab sama Ibunya Tami. Kenapa mau bertemu dengannya dan menangis? Berlutut pula. Itu bukan sifat Ibu yang Amel kenal. Bukankah Ibu mengajarkan kepada Amel untuk tidak minta belas kasihan orang lain?” Bibirku meluncur mengeluarkan pertanyaan yang lama terpendam.

Ibu menghentikan tangannya yang masih memegang foto. Pandangannya beralih padaku. “Masya Allah, Amel. Ternyata kau lihat kejadian itu?” Helaan napas Ibu terdengar berat, namun bibirnya segera menyunggingkan senyuman.

Ia mengajakku duduk di sofa, sembari membawa album dan setumpuk foto yang akan di pasangnya. Gambar-gambar itu di susunnya di atas meja, di pandangi, ia tersenyum, lalu memasangnya di lembaran album satu per satu, sesuai ilustrasi yang di inginkan.

“Amel minta maaf, Bu, jika bertanya sekarang. Karena, itu bukan ‘Ibu banget’. Makanya Amel heran. Baru sekarang berani bertanya, setelah tadi lihat ada foto-foto lama jaman kita masih di rumah dinas.” Kugenggam tangan Ibu, berharap dirinya tidak tersinggung dengan pertanyaanku. Ia menoleh kepadaku, dan tangannya terhenti sejenak.

Sekali lagi wanita yang selalu cantik di mataku itu menghela napas. Matanya mengerjap. Lagi-lagi beliau tersenyum. “Baiklah, cukuplah Amel yang tahu dan semoga ini menjadi pelajaran bagi kita, Nak.”

“Saat itu, Bapakmu berada pada posisi yang cukup baik sebagai karyawan tingkat menengah. Reputasinya pun di akui bagus dan berprestasi. Ia pernah mewakili dinas untuk studi banding ke luar negeri karena kemahiran berbahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Kautahu itu, ‘kan? Juga karena Bapakmu luwes dalam bergaul, baik dengan sesama pekerja, kolega, maupun tamu-tamu. Jangan di ragukan juga atas penguasaan soal teknis dan administrasi di kantor.”

“Berembus kabar bahwa Bapak tidak bisa naik ke jabatan lebih tinggi karena di anggap tidak mau bekerja sama dengan jajaran atasannya. Padahal selama mengabdi di dinas, Bapak cukup kooperatif. Bisa bekerja sama dalam tim, di segani kawan sejawat dan bawahan, dan tidak pernah melakukan kesalahan. Semua mengakui tentang kedisiplinan dan ketegasan Bapak dengan pekerjaannya.”

“Hal tersebut beliau diskusikan dengan Ibu, Nak. Berharap agar Ibu tidak kecewa dengan karier Bapak. Sahabat Ibu menyampaikan, bentuk ketidak-sukaan para atasan terhadapnya adalah karena kejujurannya. Baik urusan dinas, teknis, keuangan dan lain-lain. Sehingga Bapakmu tidak terlalu di sukai oleh mereka, sedangkan yang memberikan penilaian kerja atau evaluasi prestasi, ‘kan, dari atasan Bapak, Mel.”

“Kalau memang Bapak senantiasa jujur dengam segala tugasnya, mengapa mereka tidak suka, Bu?” Aku belum mengerti.

“Itu karena Bapakmu tidak bisa di ajak ‘kongkalingkong’. Ngerti?” Ibu mengerling ke arahku, sembari mengambil gambar, meletakkan di meja, memilih dan milah, di patutnya gambar satu dengan yang lain agar sesuai dalam satu halaman album sebelum di tempel.

“Maksud Ibu, mereka mengajak Bapak melakukan sesuatu yang tidak jujur, bersengkongkol dalam perbuatan atau pekerjaan yang tidak seharusnya di lakukan?” Aku masih meraba-raba maksud Ibu.

“Ya, Nak. Setiap pembuatan rencana dan anggaran kegiatan, pembahasan laporan, atau perjalanan dinas, ada hal-hal yang kurang tepat di lakukan oleh mereka. Ada kuitansi yang tidak sesuai nominalnya dengan pembelian, ada anggaran yang di lebihkan, ada dana yang di bagi-bagi ke orang tertentu. Bapakmu pun di kasih, tapi tak pernah mau mengambilnya. Karena beliau tidak tahu uang itu dari mana, kenapa di kasih. Tidak jelas.”

“Akhirnya, ada rekan kerja Ayahmu yang terang-terangan bilang, ‘kalau cuma mengandalkan gaji bulanan, mana cukup untuk hidup. Selagi ada uang begitu, minimal kita bisa hidup layak dan semestinya. Itu sah-sah aja, kita mengambil tidak banyak, kok.’ Mereka tak lagi peduli apakah uang itu hak mereka atau tidak, Amel.”

Aku tertegun, menelan ludah, menatap Ibu lamat-lamat. “Pantas saja Ayah dan Ibu tak pernah bermewah-mewah seperti orangtua kawan-kawanku yang lain,” gumamku kagum.

“Lalu, apa hubungannya Ibu menangis dan memohon kepada Ibu Tandiyo?” Aku masih penasaran.

Ibu menatapku serius. “Itu karena Ibu sudah pada puncak kemuakan atas perbuatan mereka, yang selalu mengajak Bapakmu untuk melakukan tindakan yang tidak jujur itu. Ibu pun harus membantu dan mendukung Bapak dengan cara Ibu sendiri. Makanya, Ibu menitipkan pesan kepada Bu Tandiyo, memperingatkan beliau, meminta agar suami dan para atasan sejajarnya tidak lagi mengajak Bapakmu melakukan hal yang tidak terpuji itu.”

“Boleh jadi karier Bapak mentok sampai di situ, tak mengapa. Tapi, jangan sampai Bapakmu membawa hasil keringat yang tidak halal ke keluarga kita. Itulah pertama dan terakhir kalinya Ibu datang menghadap empat mata ke Bu Tandiyo, meminta dengan sangat, agar Bapakmu tidak lagi di ajak berbuat korupsi.” Ibu menegaskan ucapnnya pada kalimat terakhir.

Aku menghambur memeluk Ibu. Kristal bening mengambang di pelupuk mataku. Bagai trailer film yang sedang di putar amat cepat, teringat masa-masa kehidupan di rumah dinas.

“Amel, tidak semua teman kerja Bapakmu melakukan itu, yang jujur juga ada. Meski saat itu kekuatan kejujuran belum bisa mendobrak keserakahan sebagian orang. Percayalah bahwa kejujuran adalah mata uang yang berlaku d imana-mana. Junjung tinggi kepercayaan dan amanah yang ada pada diri kita, Nak. Allah tidak tidur, Allah bersama kita, Allah yang mencukupkan.” Nasihat Ibu yang takakan pernah lekang di telan waktu.

Kulepaskan pelukan itu. Ibu menyeka air mataku dan mengusap pipi anak gadisnya ini dengan tetap tersenyum. Pandang mata kami bertemu. “Semoga Amel sekuat, Ibu.” Balasan kedipan mata dan senyum darinya untukku lebih dari sekedar restu. Ada doa di sana yang kuyakin di ijabah oleh Yang Maha Kuasa.

Prinsip Yang Tak Bisa Dibeli Siska Artati

Siska Artati seorang ibu rumah tangga dan penulis pemula. Telah mengikuti kelas penulisan KMO Indonesia Batch 21, kelas Novel KMO Indonesia Batch 9, kelas Cerita Anak KMO Indonesia Batch 2.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *