JENDELAPUSPITA – Hari ini hatiku berdesir dan jantungku berdetak keras. Kupacu “Scoopyku” menuju ke sekolah sambil melantunkan Surat Ar-Rahman. Bilur-bilur bening menetes tanpa aba-aba. Jam menunjukkan pukul 6.45, waktu yang sangat dekat dengan tanda masuk sekolah yang harus finger print.
Selalu terasa hadir kata “jenuh” menjalani rutinitas seperti ini. Apa yang kutangisi? Pandanganku tetap fokus ke jalanan namun pikiranku mengubah arah sendiri. Hatiku terasa lelah.
Pengguna jalan raya yang lalu lalang ikut menambah rasa gundahku. Netraku fokus ke jalan raya. Tetiba pandanganku terhenti sejenak dengan tempat pemakaman umum yang berada di pinggir jalan. Hatiku meraba apakah yang mereka rasakan di alam sana? Gelap atau terangkah tempat mereka?
Pikiranku me-review perjalanan yang telah kutempuh dalam mengisi hidup. Banyak kisah yang terangkai dan banyak kenangan yang tersimpan. Namun setiap kali galau dan resah yang menghampiri hidup, aku selalu menutupi resahku dengan sugesti yang Allah berikan melalui firman-Nya, “Semua yang Allah SWT ciptakan di dunia ini fana, semua pasti akan binasa kecuali Allah yang memiliki semuanya.”
Banyak cahaya yang dibutuhkan untuk menerangi kegelapan. Kalaulah gelap karena lampu yang mati masih bisa diupayakan, namun bila gelap itu ada di hati dan pikiran, apakah cahaya yang bisa meneranginya kembali?
Perjuanganku sebagai guru honor sangat diuji dengan tetap istikamah dalam menjalankan tugas walau berbagai tantangan harus dihadapi. Sudah 24 tahun lamanya menghonor dan hampir setiap tahun harus deg-degan dengan keputusan jam mengajar.
Semboyan hidup yang di tanamkan ”Sekali Layar Terkembang Pantang Surut ke Belakang”. Saat ini pun, aku harus mengajar dua sekolah untuk bisa mencukupkan jam mengajar 24 jam sebagai guru honor yang sudah sertifikasi.
Waktu seperti berlari. Sekarang Abah sudah tiada, jasanya takkan pernah bisa terbalaskan. Senyumnya yang hangat selalu terbayang. Aku terpaku di atas batu nisannya. Kukunjungi maqbaroh-nya untuk mengirimkan doa terbaik untuknya.
Setiap waktuku bermohon kepada Allah SWT agar di luaskan kuburnya, Allah lipat gandakan pahala kebaikannya dan di sampaikan seluruh pahala kebaikan anak cucunya kepadanya.
Abah seorang ayah yang hebat. Mendidik dan membesarkan anaknya sepenuh cinta juga Emak. Kini Mak seorang yang menemaniku meniti hari yang masih tersisa bersama keluarga kecilku. Semoga tiada kata terlambat untuk memulai semua kebaikan.
Aku selalu mengingatkan diri kepada petuah Ragib al-Asfihani dalam kitab Adz-Dzariah ila Makarim as-Syariah. Beliau menulis ada empat hal yang menjadikan manusia takut menghadapi kematian, takut kalau tak lagi merasakan nikmatnya perut kenyang dan terpuaskannya nafsu libidonya, takut harta yang akan di tinggalkannya ludes, rasa khawatir karena ketidaktahuan akan masa depan.
Sri Rahmalina, S.Ag., M.Pd.I., C.LCWP., lahir di Duri, 26 Juni 1974. Menyelesaikan S-1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1997) dan S-2 di UIN Sulthan Syarif Kasim Pekanbaru (2013).